Home » , , » Kisah Terlupakan Dari Arie Hanggara, Anak Korban Penganiayaan Orang Tua

Kisah Terlupakan Dari Arie Hanggara, Anak Korban Penganiayaan Orang Tua

Kisah Terlupakan Dari Arie Hanggara, Anak Korban Penganiayaan Orang Tua - Musa mengeryitkan dahi saat mendengar sebuah nama disebut. “Siapa? Arie Hanggara? Kan sudah lama meninggalnya,” kata dia. “Biasanya orang ke sini nyarinya ‘pastur kepala buntung’.” Hantu itu konon bisa menampakkan diri pada malam Jumat, di depan siapapun yang masuk area pekuburan dengan jumlah ganjil. Sendirian, bertiga, berlima, …

Penampakan tanpa kepala, kuntilanak, segala macam memedi – Musa si penjaga makam sudah biasa mendapat banyak pertanyaan soal ‘penunggu’ Tempat Pemakaman Umum (TPU) Jeruk Purut — tempatnya mencari penghidupan. Bahkan tak jarang ada yang sengaja datang malam hari. Untuk uji nyali.

Meski begitu, Musa tahu benar di mana letak pusara Arie Hanggara. Tak jauh dari pintu masuk utama, hanya sekitar 100 meter jauhnya. Di sebelah kiri. Tepatnya di Blok AA II.

Kuburan batu hitam berukuran 2×1 meter itu kontras dengan makam-makam di sekitarnya. Tak terurus, ditumbuhi rumput liar, dan usang dimakan waktu. Tulisan di nisan dari marmer putih nyaris terhapus sepenuhnya. Pun dengan goresan ‘Maafkan Papa’ dan ‘Maafkan Mama’ yang berada di kanan dan kiri. Untung, sejak pertama kali dikubur, pusara Arie langsung diberi pembatas hingga tak sampai tergerus hujan.

Agustini mengaku nelangsa melihat kuburan itu. Perempuan 48 tahun itu sama sekali tak ada hubungan dengan almarhum. Tapi, ia ada di sana saat Arie dikebumikan 30 tahun lalu, saat TPU Jeruk Purut belum seramai dan serapi sekarang. Sebuah upacara penguburan yang mengharu biru, tangis banyak orang pecah ketika jasad kecil itu dimasukkan ke liang lahat.

“Aduh saya mah mau nangis aja kalau ingat lagi kisahnya. Sampai sekarang sudah meninggal juga kuburannya dibiarin aja begitu nggak diurus. Kasihan, hidupnya dianiaya sama orang tuanya, meninggalnya dilupain,” ujar pemelihara makam itu.

Sejak tahun 2000, jarang ada yang ziarah ke makam Arie Hanggara. Sopian, petugas TPU Jeruk Purut mengatakan, biaya administrasi — yang harus dibayar 3 tahun sekali — sudah menunggak 5 tahun. “Kalau sudah nggak dibayar selama 3 periode atau 9 tahun (makam) itu bisa ditumpuk,” kata dia.

Dari catatan administrasi, tertera nama Nyonya Dahlia. Alamat rumahnya di daerah Pengadegan Timur, Kalibata, Jakarta Selatan. Namun, saat didatangi, perempuan itu tak ada di sana.

Warga sekitar berujar, rumah bernomor 10 itu dulunya memang rumah Machtino bin Eddiwan dan Santi – ayah dan ibu tiri Arie. Sejak 2004 rumah itu dijual dan sudah berpindah tangan. “Kalau Machtino dan Santi saya tahu, Machtino meninggal tahun 2004 dan sejak itu rumahnya dijual,” kata warga bernama Rizki. Ia tak mengenal siapa Dahlia. Penelusuran Liputan6.com, nama ibu kandung Arie adalah Dahlia Nasution.

Arie Hanggara tutup usia pada 8 November 1984, usianya belum genap 8 tahun saat itu. Bocah kecil itu tewas dianiaya ayah kandungnya sendiri. Dikompori sang ibu tiri.

Dengan dalih mendisiplinkan anak atau mungkin melampiaskan kekesalan karena frustasi jadi pengangguran, Machtino kerap menghajar Arie. Pipi kecil itu ia tampar berkali-kali sekuat tenaga, memukulinya dengan gagang sapu, mengikat kaki dan tangan si anak kedua, disuruh berdiri jongkok sampai ratusan kali. Arie pun kerap ‘disetrap’, termasuk di kamar mandi bertegel dingin.

“Hadap tembok!” teriakan ini sempat didengar tetangga pada malam itu. Dini harinya, bocah yang kepayahan itu tak lagi bisa bertahan. Ia ditemukan ambruk dengan tubuh kaku. Machtino dan Santi menyesal berat, tapi waktu tak bisa diputar ulang kembali.

Kematian Arie Hanggara bikin gempar kala itu. Orang-orang tak habis pikir, mengapa bisa orangtua menyiksa anaknya sendiri hingga mati. Kok tega? Rekonstruksi pembunuhan harus diulang beberapa kali karena massa selalu berjejal, tak hanya menonton, tapi gemas ingin menghakimi Machtino dan Santi.

Seluruh media massa mengangkat kisah Arie. Salah satunya, Majalah Tempo yang memuat judul panjang di halaman mukanya: “Arie namanya. Ia mati dihukum ayahnya. Mungkin anak kita tidak. Tapi benarkah kita tidak kejam?”

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nugroho Notosusanto juga sempat berniat membuatkan patung Arie sebagai peringatan agar kasus serupa tak terulang di masa mendatang. Tapi batal.

Nestapa Arie Hanggara dibangkitkan kembali dalam sebuah film, dengan judul sama dengan namanya. Film besutan Frank Rorimpandey itu ditonton ratusan ribu orang – yang `membanjiri’ bioskop dengan air mata.

Arie adalah simbol dari anak-anak yang tertindas. Namun kini, seiring waktu berlalu, tak cuma makam dan namanya yang terlupakan. Ia seakan hanya menjadi sebuah kisah masa lalu.

Ini bukan hanya tentang Arie Hanggara. Ada banyak bocah di negeri ini yang menjadi korban penganiayaan. Kasus kekerasan terhadap anak makin sering terjadi, dianggap ‘biasa’, bahkan tak dirasa penting.

Dan seperti apa yang terjadi pada Arie Hanggara — saat ini — mau tak mau, suka tak suka mendengarnya, ini adalah fakta: sumber bencana bagi para bocah bisa jadi ada di rumah. Ancaman terbesar bagi anak bukan tak mungkin adalah orang-orang terdekat yang seharusnya melindungi dan mengayomi jiwa-jiwa kecil itu.

Seperti yang baru-baru ini terjadi. Pada Rabu 18 Desember 2013, Muhammad Rizky Zaki dilarikan orangtuanya ke rumah sakit. “Demam.” Itu alasan yang diberikan pada paramedis. Apapun yang dilakukan padanya tak mempan. Tubuh bocah yang belum genap 3 tahun itu kaku dan biru.

Pada polisi, ayah kandung Rizky, Achen dan ibu tirinya, Rosalina mengaku lebam dan memar di jasad anak itu akibat terbentur tembok saat mati lampu. Itu pengakuan dusta.

Yang benar, Rizky tewas akibat menjadi pelampiasan kekecewaan orangtuanya. Dipukuli, dibanting. Berkali-kali. `Salah` bocah itu hanya karena dia rewel dan menangis karena merasa sakit.

Dan jangan lupakan Raditya Atmaja Ginting alias Adit. Bocah 8 tahun itu ditemukan dalam kondisi kurus kering, berlumuran darah, dan penuh cedera. Ada luka bakar menganga lebar di punggungnya. Diduga akibat disiksa ayah kandung dan ibu tirinya.

Adit ditelantarkan di perkebunan kelapa sawit PTPN V Tandun, Riau. Sengaja dibuang ke sana. Ia ditemukan seorang pedagang sayur pada Minggu 15 Desember 2013. Rintihan dari bibirnya menjadi pertanda keberadaannya, “Bang, tolong saya…”

Rintihan yang sama disuarakan jutaan anak lainnya, dalam diam, yang terwakili oleh tangis mereka: “Tolong…”

Untung Ada Yuliana…
Iqbal sudah bisa tersenyum. Bocah lucu itu terlihat senang saat dikunjungi pemerhati anak Seto Mulyadi, Selasa 1 April 2014 lalu. Lehernya mendongak melihat pria ramah berkaca mata yang berdiri dekat ranjangnya di ruang perawatan RSUD Koja, Jakarta Utara

Mata Iqbal berbinar saat didongengi Kak Seto. Ia tertawa gembira mendengar suara-suara binatang yang ditirukan dengan mahir oleh seorang pria dewasa, ikut bernyanyi ‘Balonku Ada Lima’ — dari balik masker oksigen yang menutupi mulut dan hidungnya.

“Ekspresinya sudah bagus, sudah tertawa,” kata Kak Seto. “Iqbal anak cerdas, perkembangannya positif.”

Namun, saat Kak Seto hendak pulang, Iqbal menangis sejadinya. “Begitu akan tinggalkan, tiba-tiba menangis,” kata Seto, yang berjanji akan sering-sering menengok.

Kondisi fisik bocah 3,5 tahun itu pun membaik. Ketua Tim Dokter yang merawat Iqbal, dr Dewi Iriani, menuturkan, luka di kelamin dan lidah yang tergunting, saat ini hanya menyisakan lecet. “Untuk lidah nanti pertama-tama agak cadel aja berbicaranya,” kata dr Dewi.

Bu dokter mengatakan, luka di lidah dan kelamin Iqbal diakibatkan benda tajam seperti gunting. Membuat robek, tapi tak sampai terpotong. Kabar baiknya lagi, kelak saat dewasa, Iqbal masih bisa punya keturunan.

Sementara, berdasarkan pemeriksaan, tangan kiri Iqbal pernah patah berkali-kali. Meski tulang-tulangnya bisa menyambung dengan mudah karena ia masih bocah, trauma fisik itu akan meninggalkan bekas. “Kondisi tangan Iqbal yang sudah sering patah, sambung sendiri, menyebabkan bentuknya akan bengkok-bengkok,” kata dr Dewi. Kondisinya hanya bisa dinormalkan lagi dengan jalan operasi.

Namun, bukan itu luka Iqbal yang terparah. Menurut Dokter Dewi, cidera paling gawat ada pada jiwanya. “Psikisnya ini yang butuh pemulihan. Soal fisik sudah membaik.”

Untung ada Yuliana! Jika tak ada perempuan ini Iqbal mungkin masih berkeliaran di jalanan. Mengemis dengan tubuh babak belur, penderitaannya menarik simpati orang untuk merogoh kocek lebih dalam, lalu meninggal dan terlupakan. Selesai.

Yuliana melihat Iqbal saat wanita 31 tahun itu hendak berangkat kerja. Ketika menunggu bus Transjakarta di Halte Busway Sawah Besar. Bocah itu terlihat kepayahan. “Nggak tega lihat Iqbal, saya tanya ke bapak yang gendong dia,” kenang warga Tambora itu. Pria yang menggendong Iqbal adalah Dadang – tersangka penculikan dan penganiayaan Iqbal.

Yuliana bermaksud mengantar Iqbal ke klinik terdekat untuk diperiksa. Namun Dadang menolak. “Mau ngamen,” itu alasannya. Ia juga menambahi, luka yang diderita Iqbal sudah biasa akibat sering disiksa oleh ibu tirinya. Iqbal saat itu hanya terus menangis tanpa bisa bicara.

Beberapa hari kemudian, Yuliana kembali bertemu Iqbal dan Dadang di Stasiun Kota. Kondisi Iqbal makin parah. Kejang-kejang. Banyak orang yang melihatnya, yang merasa kasihan, tapi tak ada yang menghampiri. Kecuali Yuliana.

“Saya tanya kok kenapa nggak dibawa ke rumah sakit?” kisah perempuan berhati mulia itu. Tak seperti pertemuan pertama mereka, kali ini Yuliana memberanikan diri bertindak.

Ia berinisiatif mengantar Iqbal berobat. Yuliana, Dadang, dan Iqbal naik dua motor ojek menuju ke klinik di kawasan Mangga Dua. “Sewa ojek Rp 100 ribu. Saya bilang cari yang terdekat, tempat pertama tutup, kedua penuh dan antreannya panjang banget. Saya bilang nggak bisa nunggu karena kejang-kejang anak itu,” ucapnya.

Dengan berbagai alasan, klinik dan rumah sakit menolak kehadiran Iqbal yang sekujur tubuhnya penuh luka. Mulai dari alasan alatnya tidak lengkap, hingga dokter yang sudah pulang. Sampai akhirnya, tukang ojek yang ditumpanginya menyarankan agar Iqbal dibawa ke puskesmas di daerah Pademangan, Jakarta Utara.

Di puskesmas itu, Iqbal mendapat perawatan pertama. Dokter yang memeriksanya curiga, luka itu masih baru. Lalu anggota Polsek Pademangan Bripka Putra muncul. Ia mendapat laporan dari satpam puskesmas bahwa ada anak yang dicurigai korban penganiayaan.

Dadang dibawa ke Polsek, sementara Iqbal langsung dibawa ke RSUD Koja untuk mendapatkan perawatan. Dari situlah, Iqbal terselamatkan. Seandainya ada banyak orang seperti Yuliana…

Akar Kekerasan?
Tingginya angka kekerasan dan eksploitasi terhadap anak akhir-akhir ini menimbulkan keprihatinan. Ada banyak sebab mengapa para bocah jadi objek penderita.

Jika pelakunya adalah orangtua, anak mungkin jadi korban pelampiasan kekecewaan orang dewasa pada hidup. Atau, dengan dalih menegakkan disiplin. “Saat ini banyak yang beranggapan jika ingin mendidik anak jadi disiplin dan baik harus dengan cara dipukul atau dimarahi. Padahal itu salah,” kata pemerhati anak Kak Seto. “Kalau bisa dipersentasekan, masih ada 80 persen keluarga yang memilki paradigma semacam itu.”

Untuk menghentikan kekerasan anak, Kak Seto menyarankan di setiap RT dan RW harus ada Satgas Perlindungan Anak. Satgas ini yang melaporkan pada instansi terkait jika terjadi kekerasan di lingkungannya.

“Jangan sampai terjadi lagi ibu bunuh anak. Sang ibu saat itu sedang mengalami gangguan kejiwaan. Satgas ini dapat mengisi kekosongan, dengan merawat anak yang ibunya mengalami gangguan jiwa seperti itu,” sarannya.

Jika kekerasan ini tidak segera dihentikan, kata Kak Seto, bukan tidak mungkin generasi muda ke depan akan melahirkan anak muda yang menonjolkan kekerasan dibanding intelektual.

Sebab kedua, mungkin kurangnya pengawasan. Seperti yang terjadi pada Iqbal. Psikolog keluarga, Rosmini mengatakan, dalam kasus Iqbal, pelakunya Dadang bukanlah orangtua kandung korban. Tapi mantan kekasih ibunya, Iis Novianti (30).

Sejatinya gelagat kekerasan sudah diketahui Iis jauh-jauh hari. Namun, ia tak cepat bertindak. “Dadang ini bekas pacar ibunya jadi saya melihat bukan kekerasan yang dilakukan oleh keluarga. Namun harusnya memang, ibunya, Iis atau keluarganya bisa cepat melindungi Iqbal ketika sudah tahu sifat Dadang,” kata Rosmini saat dihubungi Liputan6.com.

Mengapa orang dewasa seperti Dadang sampai tega melakukan penganiayaan terhadap bocah? Jawabannya, karena faktor ekonomi. Urusan perut membuat tersangka tak lagi punya empati, lupa bahwa ia manusia yang seharusnya punya kemanusiaan.

Parahnya, menurut Rosmini, segala kekerasan dan penyiksaan dilakukan Dadang secara sadar. “Saya melihat Dadang tega melakukan penganiayaan kepada Iqbal lebih kepada faktor ekonomi. Ada keterbatasan dana (uang) dan banyak yang keinginan yang belum bisa dipenuhi, jadi Dadang sudah tidak ada empati lagi. Dia akan tega terus untuk menganiayanya,” terang Rosmini.

Sementara, kriminolog yang juga menjabat anggota Kompolnas, Adrianus Meliala mengamini faktor ekonomi sebagai dasar penganiyaan Iqbal.

Menurut dia, pada golongan orang bawah atau kategori masyarakat miskin, kekerasan seringkali dihadapi oleh anak-anak kecil.

Adrianus menegaskan, Iqbal hanya salah satu contoh kecil. Pada golongan masyarakat miskin kekerasan seperti itu bisa terjadi setiap hari, bahkan setiap waktu.

Bahkan, kata Adrianus, eksploitasi anak itu rentan terjadi. Hanya berbeda cara saja, ada yang lewat kekerasan atau ada anak yang dirayu saja sudah mau — dan tanpa terasa anak itu sudah jadi korban eksploitasi.

“Ini potret masyarakat dan kemiskinan. Kalau miskin jahatnya sampai eksploitasi anak. Ada banyak Iqbal-Iqbal lain di luar sana biasa mengalaminya.” (Elin Yunita Kristanti)

0 comments:

Post a Comment

Blog Archive

Powered by Blogger.